“Hal terpenting adalah menyiapkan upaya yang akan diimplementasikan negara untuk memitigasi. Eropa, misalnya. Saat masih mengandalkan gas pipa dari Rusia, mereka (Eropa) tidak mengantisipasi kalau ada hal-hal tertentu yang mengakibatkan gas tidak mengalir,” jelasnya.
Setahun belakangan ini hingga tahun depan, lanjut Arcandra, mereka berlomba-lomba membangun fasilitas infrastruktur agar LNG dari negara pengekspor gas bisa masuk ke Eropa. Akibatnya, dengan “dimerdekakannya” Eropa dari ketergantungan gas dari satu negara, harga gas diprediksi akan turun.
“Berapa turunnya, kapan turunnya? Itu yang menjadi misteri,” katanya.
Di Indonesia sendiri, tuturnya, tingkat ketergantungan terhadap impor cukup besar. Kebutuhan minyak dalam negeri kira-kira mencapai 1,4 juta barrel per hari.
Sementara, produksi kilang dalam negeri untuk menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) sekitar 800 ribu barel per hari. Hal ini, menyebabkan impor BBM sekitar 600.000 barrel per hari. Di sisi lain, lanjut dia, kondisi kilang dalam negeri, dulunya didesain hanya dapat menerima jenis minyak mentah tertentu.
Seperti diketahui, minyak mentah tersebut ketika diolah di kilang yang bukan sesuai spesifikasinya memang dapat menghasilkan produk turunan BBM. Akan tetapi, hal ini tidak seefisien mengolah minyak mentah yang sesuai dengan spesifikasi kilang.
“Salah satu hal yang memengaruhi harga komoditas adalah geopolitik. Tentu, pemerintah tahu persis dan bagaimana seharusnya bertindak. Dari sisi geopolitik dan hubungan bilateral menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyikapi perpolitikan dunia karena dampak yang ditumbulkan cukup besar,” imbuhnya.
Arcandra menjelaskan, pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan kebijakan negara lain yang cocok untuk dicontoh.
“Sebagai contoh, menentukan strategi-strategi transisi dengan diversifikasi usaha ataupun dekarbonisasi menuju renewable energy,” kata Arcandra.